13 Februari 2013

Roman


Kita tak saling kenal, kita tidak pernah berjumpa sebelumnya, aku tak tahu kamu siapa, begitupun kamu, kita hanya terlalu sering bertemu.

            Kopi milikku tinggal setengah malam itu, kedai kopi ini cukup ramai, orang – orang duduk di meja yang menyatu dengan kasir, aku duduk di sebuah kursi kecil dengan satu meja yang agak jauh dari tempat orang – orang berkumpul. Terdengar suara lantunan musik dari sebuah grup musik yang tidak terlalu ku kenal di speaker yang terpasang di setiap sudut dari ruangan ini, suaranya tidak terlalu nyaring, jadi aku masih bisa mendengar pembicaraan setiap pengunjung yang sedang asik mengobrol. Aku sedang berusaha meyelesaikan buku yang tak pernah selesai kubaca, The Kreutzer Sonata, Tolstoy.

            Sudah satu setengah jam semenjak aku datang ke tempat ini, tempat yang untuk pertama kalinya kudatangi. Tempat ini sepertinya baru saja dibuka, beberapa sudut belum selesai dihias, atau memang dibiarkan seperti itu? Ah entahlah.  Aku masih belum juga selesai membaca buku yang kubawa, kemudian kamu masuk, sendirian, melihat – lihat sekilas kemudian menaruh ransel yang kamu bawa ke kursi di depan meja ku, aneh. Kursi itu memang masih satu set dengan kursi yang ku duduki dan biasanya orang tak akan mau duduk di tempat yang sudah di tempati orang. Kamu tidak duduk, hanya menaruh ranselmu di kursi itu, kemudian berjalan ke arah kasir dan memesan sesautu, aku tak tahu apa itu. seusai memesan kamu kembali mengambil ranselmu dan duduk sebentar di depan ku. Aku memerhatikanmu sebentar, kamu sibuk dengan ponselmu, kemudian beranjak dan pindah ke sebuah kursi yang terletak di pojok ruangan ini.

            Pesananmu kemudian datang, ya, aku sedang melihat ke arahmu ketika kopi dingin yang kamu pesan diantar oleh pelayan kedai ini. Aku tak tahu itu apa, yang jelas, di atas kopi itu dibubuhi whip cream putih dan taburan coklat. Kamu juga sempat melihat ke arahku waktu itu, tapi aku kemudian kembali memerhatikan susunan kata – kata di buku yang sedang kubaca.

            Setengah jam berlalu, aku selalu memerhatikanmu sesekali, kamu yang sibuk dengan ponselmu, entah sadar atau tidak aku perhatikan. Aku juga tak tahu kenapa aku memerhatikanmu, apakah karena pertemuan pertama yang cukup aneh dan berkesan? Atau memang wajahmu yang menarik perhatian? Entahlah.

 kamu kemudian beranjak dari tempat dudukmu, kopi dinginmu sudah habis, lalu terulang lagi, kamu menaruh ranselmu di kursi yang ada di depan meja ku kemudian pergi ke arah kasir dan menanyakan dimana kamar kecilnya berada, suara memang tak terdengar, tapi melihat gerakan tubuh dari pelayan yang berada di meja kasir memberitahuku kalau kamu memang menanyakan itu.

 Sekitar lima menit kamu menghilang, kemudian kembali dan mengambil ranselmu yang ditaruh di depan ku, aku memerhatikanmu, kamu tidak tahu. Kamu lalu pergi dari kedai ini, menghilang.  Aku memerhatikan punggungmu yang perlahan menjauh dan hilang ketika kamu menutup pintu. Setelah kopi habis, aku menyusul.

Hampir dua minggu berlalu semenjak pertemuan yang aneh itu, kita bertemu lagi, di tempat yang sama, dan masih dalam keadaan yang sama, meski tak ada lagi adegan menaruh ransel di depan ku. Kamu tak lagi berada di tempat yang sama, aku pun begitu. Kita berdekatan malam itu, kita bersisian meski terpisah dua orang berpasangan yang berada di tengah – tengah kita. Lucu jadinya. Kamu sudah ada di kedai ini lebih dulu, aku baru datang, kopi dinginmu sudah setengah.

Sedikit susah untuk memerhatikanmu kali ini, meski begitu beberapa kali aku sempet melihat ke arahmu, seperti biasa, kamu sibuk dengan ponselmu, meski malam ini kamu ditemani notebook dan sebuah buku yang cukup tebal di mejamu. Sepertinya kamu sedang sibuk mengerjakan tugas. Kopi pesananku datang, satu kopi hitam panas, dengan ukuran kecil tentunya. Kamu melihat ke arahku waktu itu, aku melihatnya ketika aku melihat ke arah pelayan yang mengantakan kopiku. Aku diam saja, pura – pura tidak tahu. memang aku harus berbuat apa? Tidak lama kemudian kamu pergi ke arah meja kasir? Menanyakan kamar kecil lagi kah? Entah, tapi kemudian kamu kembali lagi ke arah tempat dudukmu, kembali sibuk dengan pekerjaanmu. Aku diam , menikmati bacaanku, yang masih sama. Pelayan berjalan ke arah mu dan mengantarkan kopi dingin yang sama. Sepertinya itu kesukaanmu.  

Jam tanganku sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam, aku bersiap – siap pulang, begitupun kamu, aku beranjak menuju ke arah kasir untuk membayar pesanan, kamu datang menyusul, kini kita berada di tempat yang sama, menunggu. Aku sempat melihat ke arah mu, aku sedikit grogi, sempat terpikir untuk menanyakan namamu, tapi tidak, pelayan terlanjur menyelesaikan urusannya denganku, aku kemudian pergi, meninggalkan kamu disana, di depan meja kasir.

Kita semakin sering bertemu di tempat yang sama, pernah kita benar – benar bersisian, pernah kamu berada sangat jauh dari tempat duduk ku, pernah juga aku tak melihatmu, pernah juga kita benar – benar berhadapan. Saat – saat kita berada sangat dekat adalah saat – saat paling aneh, entah, aku selalu merasa gugup, penasaran saja, siapa kamu, kenapa kita bisa terus – terusan bertemu di tempat ini. Lucu, aneh.

Aku tak pernah berharap kita akan bertemu setiap akan datang ke tempat ini, hanya saja, setiap kali bertemu, aku berharap kita mungkin bisa saling sapa, bisa saling tanya, bisa saling bertukar cerita, maaf sebelumnya telah dengan tidak sopannya terus memerhatikanmu tanpa sepengetahuanmu, dan menuliskan surat ini. Terima kasih.

                                                  ********

Aku kemudian menuliskan inisialku di sudut bawah dari surat yang baru saja ku tulis. Malam ini, bertemu atau tidak, aku akan menitipkan surat ini kepada pelayan yang berada di meja kasir dan memintanya untuk memberikan ini kepada perempuan itu.

Sayangnya surat itu tak pernah dikirimkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar