Kita tak saling kenal, kita tidak pernah berjumpa sebelumnya,
aku tak tahu kamu siapa, begitupun kamu, kita hanya terlalu sering bertemu.
Kopi milikku tinggal setengah malam
itu, kedai kopi ini cukup ramai, orang – orang duduk di meja yang menyatu
dengan kasir, aku duduk di sebuah kursi kecil dengan satu meja yang agak jauh
dari tempat orang – orang berkumpul. Terdengar suara lantunan musik dari sebuah
grup musik yang tidak terlalu ku kenal di speaker yang terpasang di setiap
sudut dari ruangan ini, suaranya tidak terlalu nyaring, jadi aku masih bisa
mendengar pembicaraan setiap pengunjung yang sedang asik mengobrol. Aku sedang
berusaha meyelesaikan buku yang tak pernah selesai kubaca, The Kreutzer Sonata,
Tolstoy.
Sudah satu setengah jam semenjak aku
datang ke tempat ini, tempat yang untuk pertama kalinya kudatangi. Tempat ini
sepertinya baru saja dibuka, beberapa sudut belum selesai dihias, atau memang dibiarkan
seperti itu? Ah entahlah. Aku masih
belum juga selesai membaca buku yang kubawa, kemudian kamu masuk, sendirian,
melihat – lihat sekilas kemudian menaruh ransel yang kamu bawa ke kursi di
depan meja ku, aneh. Kursi itu memang masih satu set dengan kursi yang ku
duduki dan biasanya orang tak akan mau duduk di tempat yang sudah di tempati
orang. Kamu tidak duduk, hanya menaruh ranselmu di kursi itu, kemudian berjalan
ke arah kasir dan memesan sesautu, aku tak tahu apa itu. seusai memesan kamu
kembali mengambil ranselmu dan duduk sebentar di depan ku. Aku memerhatikanmu
sebentar, kamu sibuk dengan ponselmu, kemudian beranjak dan pindah ke sebuah
kursi yang terletak di pojok ruangan ini.
Pesananmu kemudian datang, ya, aku
sedang melihat ke arahmu ketika kopi dingin yang kamu pesan diantar oleh
pelayan kedai ini. Aku tak tahu itu apa, yang jelas, di atas kopi itu dibubuhi
whip cream putih dan taburan coklat. Kamu juga sempat melihat ke arahku waktu
itu, tapi aku kemudian kembali memerhatikan susunan kata – kata di buku yang
sedang kubaca.
Setengah jam berlalu, aku selalu
memerhatikanmu sesekali, kamu yang sibuk dengan ponselmu, entah sadar atau
tidak aku perhatikan. Aku juga tak tahu kenapa aku memerhatikanmu, apakah
karena pertemuan pertama yang cukup aneh dan berkesan? Atau memang wajahmu yang
menarik perhatian? Entahlah.
kamu kemudian beranjak
dari tempat dudukmu, kopi dinginmu sudah habis, lalu terulang lagi, kamu
menaruh ranselmu di kursi yang ada di depan meja ku kemudian pergi ke arah kasir
dan menanyakan dimana kamar kecilnya berada, suara memang tak terdengar, tapi
melihat gerakan tubuh dari pelayan yang berada di meja kasir memberitahuku
kalau kamu memang menanyakan itu.
Sekitar lima menit
kamu menghilang, kemudian kembali dan mengambil ranselmu yang ditaruh di depan
ku, aku memerhatikanmu, kamu tidak tahu. Kamu lalu pergi dari kedai ini,
menghilang. Aku memerhatikan punggungmu
yang perlahan menjauh dan hilang ketika kamu menutup pintu. Setelah kopi habis,
aku menyusul.
Hampir dua minggu berlalu semenjak pertemuan yang aneh itu,
kita bertemu lagi, di tempat yang sama, dan masih dalam keadaan yang sama,
meski tak ada lagi adegan menaruh ransel di depan ku. Kamu tak lagi berada di
tempat yang sama, aku pun begitu. Kita berdekatan malam itu, kita bersisian
meski terpisah dua orang berpasangan yang berada di tengah – tengah kita. Lucu jadinya.
Kamu sudah ada di kedai ini lebih dulu, aku baru datang, kopi dinginmu sudah
setengah.
Sedikit susah untuk memerhatikanmu kali ini, meski begitu
beberapa kali aku sempet melihat ke arahmu, seperti biasa, kamu sibuk dengan
ponselmu, meski malam ini kamu ditemani notebook dan sebuah buku yang cukup
tebal di mejamu. Sepertinya kamu sedang sibuk mengerjakan tugas. Kopi pesananku
datang, satu kopi hitam panas, dengan ukuran kecil tentunya. Kamu melihat ke
arahku waktu itu, aku melihatnya ketika aku melihat ke arah pelayan yang
mengantakan kopiku. Aku diam saja, pura – pura tidak tahu. memang aku harus
berbuat apa? Tidak lama kemudian kamu pergi ke arah meja kasir? Menanyakan kamar
kecil lagi kah? Entah, tapi kemudian kamu kembali lagi ke arah tempat dudukmu,
kembali sibuk dengan pekerjaanmu. Aku diam , menikmati bacaanku, yang masih
sama. Pelayan berjalan ke arah mu dan mengantarkan kopi dingin yang sama. Sepertinya
itu kesukaanmu.
Jam tanganku sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam,
aku bersiap – siap pulang, begitupun kamu, aku beranjak menuju ke arah kasir
untuk membayar pesanan, kamu datang menyusul, kini kita berada di tempat yang
sama, menunggu. Aku sempat melihat ke arah mu, aku sedikit grogi, sempat
terpikir untuk menanyakan namamu, tapi tidak, pelayan terlanjur menyelesaikan
urusannya denganku, aku kemudian pergi, meninggalkan kamu disana, di depan meja
kasir.
Kita semakin sering bertemu di tempat yang sama, pernah kita
benar – benar bersisian, pernah kamu berada sangat jauh dari tempat duduk ku,
pernah juga aku tak melihatmu, pernah juga kita benar – benar berhadapan. Saat –
saat kita berada sangat dekat adalah saat – saat paling aneh, entah, aku selalu
merasa gugup, penasaran saja, siapa kamu, kenapa kita bisa terus – terusan bertemu
di tempat ini. Lucu, aneh.
Aku tak pernah berharap kita akan bertemu setiap akan datang
ke tempat ini, hanya saja, setiap kali bertemu, aku berharap kita mungkin bisa
saling sapa, bisa saling tanya, bisa saling bertukar cerita, maaf sebelumnya
telah dengan tidak sopannya terus memerhatikanmu tanpa sepengetahuanmu, dan
menuliskan surat ini. Terima kasih.
********
Aku kemudian menuliskan inisialku di sudut bawah dari surat
yang baru saja ku tulis. Malam ini, bertemu atau tidak, aku akan menitipkan
surat ini kepada pelayan yang berada di meja kasir dan memintanya untuk memberikan
ini kepada perempuan itu.
Sayangnya surat itu tak pernah dikirimkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar