19 Desember 2014

Pembunuh Itu Bernama Senyap

Setelah menonton pemutaran film Senyap atau The Look of Silence, temen gue yang jadi penyelenggaran acara pemutaran tersebut, menyampaikan bahwa mereka yang menonton film ini, sebaiknya menuliskan sesuatu tentang film ini, begitu kira-kira. Sebenarnya tanpa harus dibilang seperti itupun gue memang mau menuliskan tentang film ini, mengingat memang sudah cukup lama gue tidak menuliskan sesuatu yang setidaknya berkaitan dengan hal lain.
 
sumber: filmsenyap.com

Film Senyap sendiri, merupakan film lanjutan  Joshua Oppenheimer  mengenai pengungkapan sejarah dibalik peristiwa G30S PKI, setelah sebelumnya dibahas melalui Jagal, atau The Act of Killing. Kalau boleh saya bilang, apa yang dibuat Joshua pada Jagal, memang satu yang cukup menghebohkan, khususnya di Indonesia. Saya memang belum melakukan pencarian lebih jauh, namun dalam film itu, si pelaku kejahatan, (kalau boleh saya bilang begitu) menceritakan secara detail proses-proses yang mereka lakukan dulunya ketika menghabisi korbannya, dan juga apa-apa saja yang mereka hadapi sesudah masa itu berlalu. Bagi saya pribadi, seorang pelaku kejahatan, yang sebenarnya tidak mereka sadari, melakukan perekaan adegan yang meskipun tidak secara nyata, atas tindakan mereka di hadapan kamera, adalah satu yang menakjubkan. Kita tidak sedang berbicara adegan rekaan yang dibuat-buat, melainkan berdasarkan pengalaman si pelaku. Hal itu bukanlah hal yang mudah. 

Ketika Jagal menarasikan itu melalui sudut pandang si pelaku, Senyap, memberikan gambaran bagaimana korban dari kekejaman itu, mempertanyakan satu hal yang mendasar atas perlakuan mereka, para penjagal itu setelah bertahun-tahun masa itu telah berlalu, penyesalan. Meski mungkin memang tidak sesimpel itu apa yang dikejar oleh subjek dalam film Senyap ini, karena gue hanya bisa menerka-nerka melalui apa yang gue dapet setelah menonton film berdurasi 90 menit-an ini. 

Bila dianalogikan, Jagal dengan narasinya bagaikan pembunuh yang tak segan-segan menghabiskan korbannya hanya dengan satu kali tusuk, atau pukulan, sedangkan Senyap, ia bagaikan pembunuh gila yang dengan senang hati mengiris-iris korbannya sedikit demi sediki di sekujur tubuhnya dan membiarkan si korban mati kehabisan darah. Itu yang saya rasakan setelah menonton film senyap ini. Ada perasaan sakit yang berkali-kali datang di setiap kesunyian yang timbul dalam film ini.

Kira-kira seperti itu yang bisa gue gambarkan dalam rangkaian film milik Joshua ini.

Kemarin, di akhir acara, ada seorang bapak-bapak berumur sekitar 50 tahun yang menceritakan pengalamannya mengenai persitiwa pembantaian PKI itu. Dia memang bilang, bahwa dia sendiri tidak merasakan kejadiannya langsung, namun proses-proses yang dilakukan aparat pasca kejadian tersebut untuk menghilangkan paham-paham komunisme disini, sangat terasa. Ia menceritakan bagaimana dulu, ketika SD, film G30S PKI yang sangat tenar itu, begitu terkenang di memorinya hingga saat ini. Ia juga menceritakan salah seorang mahasiswa, entah itu mahasiswanya atau bukan, yang telah mempelajari segala hal mengenai komunisme dan juga PKI demi menghilangkan pemahaman salahnya PKI dari ingatannya namun tak pernah berhasil.

Gue sendiri, yang lahir bertahun-tahun setelah kejadian itu, sama sekali tidak memiliki pengalaman atau kenangan mengenai hal tersebut. Meski memang waktu SD dulu gue juga ikut menonton film G30S, tapi entah mengapa gue tidak merasakan dampak apa-apa sampai saat ini, gue hanya mengingat beberapa dari adegan di film tersebut, dan tidak meraskan dampak yang berlebihan dari film itu. Kembali mengenai Senyap, banyak orang diluar sana, memberikan komentar-komentar yang baik mengenai film ini, tapi gue sendiri merasa biasa saja, bagi gue ya sekedar karya sinematik yang mendidik. Gue tidak merasakan sensasi apa-apa selain itu. Gue hanya berusaha tidak menutup diri atas berbagai informasi yang ada sampai saat ini, sehingga mau dan tertarik untuk melihat film ini.

Sebagai sebuah karya audiovisual, Senyap memiliki kekuatannya untuk bisa menyampaikan pesan yang tak pernah bisa disampaikan oleh media lain, ia memiliki eksklusifitas isi, namun, bagi saya, ia terlalu kejam untuk bisa dinikmati, maka dari itu, memang harus ada yang dipertanyakan. Konteksnya bukanlah apa, tapi siapa?


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar